Kamis, 06 Juni 2013

Leave a Comment

Perda Pilkades Ngawi Kedaluwarsa

Perda Pilkades Ngawi dinilai sebagai payung hukum yang sudah kedaluwarsa. Pasalnya, beberapa ayat dalam Perda Nomor 9 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan, dan Pemberhentian Kepala Desa dianggap tak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. ‘’Perdanya tidak up to date, ’’ kata Agus Wiyono, ketua Fraksi PAN DPRD Ngawi, kemarin (3/6).
Agus menyebut ada beberapa ayat dalam perda itu yang perlu direvisi. Salah satunya yang menyatakan cakades harus tinggal tetap di Ngawi secara berturut minimal satu tahun dan terdaftar sebagai warga desa setempat. Menurutnya, hal itu bertentangan dengan asas NKRI. ‘’Yang mana warga negara Indonesia dapat mencalonkan diri di mana saja,’’ ujarnya.

Dia mencontohkan Jokowi yang warga asli Solo namun dapat mencalonkan gubernur DKI Jakarta. Sedangkan yang terjadi di Ngawi selama ini, warga setempat yang merantau dan menetap di daerah lain terganjal aturan tersebut jika ingin mencalonkan diri menjadi cakades. ‘’Ini perlu segera direvisi, dan menjadi PR (pekerjaan rumah, Red) pemda dan DPRD,’’ ungkapnya.

Perda tersebut, kata dia, juga ambivalen karena TNI/Polri yang ingin maju menjadi cakades harus mengundurkan diri dari kesatuannya. Sedangkan PNS cukup mengurus izin. ‘’PNS lebih diuntungkan dibandingkan TNI/Polri jika dinyatakan tidak terpilih dari bursa pilkades. Sehingga, berbuntut banyak aduan yang masuk di komisi I DPRD Ngawi. Terakhir dari Desa Jeblokan, Paron,’’ ungkapnya.

Bahkan, Agus menilai perda tersebut melanggar HAM, karena istri atau suami dari perangkat desa harus mengundurkan diri dari jabatannya jika pasangan sahnya macung dalam bursa cakades. Padahal, belum tentu lolos dan terpilih menjadi kades. ‘’Kami khawatir jika tidak segera direvisi ada yang menggugat ke MK (mahkamah konstitusi, Red) dan semakin runyam,’’ tegasnya.

Sumber internal di komisi I DPRD menyebutkan perda tersebut sejatinya bakal direvisi 2011 lalu. Namun diurungkan karena anggota legislatif tergiur janji pemerintah pusat yang akan mengesahkan UU Desa yang di dalamnya mengatur jabatan kepala desa hingga delapan tahun.

Tapi, setelah lama ditunggu janji itu tak kunjung terealisasi. ‘’Saat itu mikirnya dari pada direvisi dua kali, lebih baik menunggu UU itu disahkan. Ternyata perhitungan kami salah, sehingga kami akui produk kami salah,’’ ungkap sumber itu.

H Khoirul Anam Mukmin, anggota Komisi I DPRD Ngawi, menilai perda tersebut bertenanngan dengan rasa keadilan di masyarakat sehingga harus segera ditinjau ulang. Dia mengaku bakal mengusulkan ke komisinya untuk membicarakan hal tersebut. ‘’Memang itu luput dari pengamatan kami, dan segera kami usulkan,’’ tegasnya. Radar Madiun
Admin
Terimakasih sudah berkunjung semoga tulisan yang ada di website ini bisa bermanfaat, komentar anda sangat kami harapkan.

0 komentar:

Posting Komentar